Saturday, October 4, 2008

Tuhan dan Kecemburuan


oleh Esai Aulia Muhammad
(harian Suara Merdeka)


Marilah kita bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, juga ganas dan memangsa: Engkau ganas/ Engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakar-Mu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Tuhan di sini, ibarat kekasih, yang tak ingin kecintaannya berpaling. Karena itulah, Ustad Ferry, dalam satu nasihat yang bening, memperingatkan Azam, agar tak terlalu memikirkan Aya. “Jangan buat Allah cemburu, Azam. Karena tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah.”

Azzam, tentu saja, terhenyak. “Kenapa Allah cemburu pada saya, Ustad?”

“Karena hatimu, setiap hari, lebih menzikirkan hal-hal duniawi.”

Bagi Ustad Fery, yang dimainkan Akri Patrio dengan bagus dalam Para Pencari Tuhan, cinta manusia pada apa pun, haruslah merupakan jalan untuk mencintai dan mendapatkan cinta Allah. Karena itu, anak, istri, kekasih, jabatan, harta, baru bernilai ketika dapat menjadi selasar untuk menjumpai sang Khalik.

Bertuhan, dengan demikian, lebih merupakan suatu pengalaman personal.

Dalam personalisasi semacam itulah, Tuhan acap “ditemukan” dalam banyak “wajah”. Novelis Danarto misalnya, mengaku melihat Tuhan dalam paras kanak, yang bercahaya. Atau Alm Gito Rollies, yang menjadi “kenal” dan akrab dengan Tuhan, ketika menanggungkan sakit. Zaskia Mecca malah merasa “ditegur” Tuhan lewat foto merokoknya yang tersebar. Di sini, dalam pengalaman personal mereka, Tuhan telah hadir, meski tersamar, tampak, mengejawantah. Mereka merasakan persentuhan itu. Padahal, Chairil Anwar, merasakan betapa... susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh.

Tapi di sinilah dilema itu dimulai. Mengingat, mengenal, ditegur, adalah pengalaman yang mewaktu, ketika alpa dan ingat, dapat bertukar lepas dengan tangkap. Padahal, Tuhan yang datang lewat wahyu, justru mengatasi waktu. Wahyu hakikatnya tak mewaktu, melampaui masa, di luar fase sejarah. Jadi, bagaimana mungkin “sesuatu” yang di luar waktu, dbahasakan dalam personalisasi pengalaman?

Dilema itu punya titik temu: bertuhan adalah pengalaman personal yang terbahasakan.

Pengalaman personal yang dimaksud di sini adalah sebuah situasi yang berada di luar kala, semacam ekstase kaum sufi, suasana ning ketika berzikir, atau blank, suwung, tatkala menanggungkan sakit atau rindu. Dalam ketakmewaktuan itulah Tuhan hadir. Seperti “ketercerabutan” Muhammad dari realitas, kebersaatan, ketika menerima wahyu melalui Jibril.

Nah, kehadiran Dia yang di luar kala itu, tak punya arti, sebelum dikatakan dalam bahasa orang ramai. Itulah sebabnya, al-Hallaj, membuka rahasia syatahat. Yazid al-Bustami bernubuat di kelimun umat. Tuhan yang mereka dapat di dalam ketakberkalaan, bukan mereka simpan, tapi dileburkan dalam kancah perbuatan.

Bertuhan dengan demikian adalah perilaku. Adalah akhlak, sikap, tindak, adalah cara mencinta.

Ukuran kebertuhanan pun menjadi bukanlah pada pengalaman personal seseorang dalam kesendirian, kealiman batin dan kesantunan pribadi, melainkan kesalehan sosial, keberdampakan iman bagi orang banyak. Bertuhan, dan beriman, dalam skala yang paling akbar, adalah perjalanan atau pengalaman personal mikraj Muhammad, ketika mendapat pesan melalui bahasa langit, dan kembalinya Muhammad untuk mewartakan pesan tadi kepada umat ke dalam bahasa bumi.

Bertuhan, dan sekaligus beriman, “Bukanlah orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,” kata Emha, “dan membiarkan beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.” Bertuhan adalah melihat segala hal sebagai “tak ada yang bukan Tuhan”, al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah. Segala nikmat dan laknat ibarat thariqah dan syariah, sebagai jalan, atau pintu, meraih Tuhan. Menyatunapaskan tugas lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tapi tentu, bukan dengan keinginan untuk meraih surga sendirian. ”Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling,” kata Chairil.

Diri yang tak bisa berpaling itulah, barangkali, insan yang tak lagi dicemburui Tuhan.

oleh Esai Aulia Muhammad (harian Suara Merdeka) Marilah kita bicara tentang Tuhan, yang kata Amir Hamzah, juga ganas dan memangsa: Engkau ga...